SERVICE LEVEL AGREEMENT (SLA)
Dengan demikinan, SLA merupakan
kesepakatan formal yang dapat dinegosiasikan guna mengidentifikasi harapan,
tanggung jawab, dan memfasilitasi komunikasi antara penyedia produk/layanan
(supplier) dengan pelanggannya (costumers) yang diukur dengan jangka waktu
tertentu.
Mengapa diperlukan SLA?
Dari definisi SLA terdapat dua
pihak yang berkepentingan, yaitu pihak penyedia (supplier) dan pihak pelanggan
(costumer). Tentunya keduanya memiliki harapan masing-masing yang bisa saja
berbeda. Harapan pelanggan menginginkan produk/layanan tersedia dengan cepat,
namun dari pihak penyedia memerlukan waktu proses untuk menyediakan
produk/layanan yang dibutuhkan tersebut. Perbedaan harapan inilah yang perlu
dikomunikasikan agar tidak terjadi konflik.
Di sinilah diperlukan SLA untuk
menjembatani perbedaan harapan, mendefinisikan kewenangan dan tanggung jawab
masing-masing pihak sekaligus menjadi alat ukur efektifitas penyediaan
produk/layanan oleh supplier.
Bagaimana membuat SLA
Sebelum membuat SLA, terlebih
dahulu harus dipahami dahulu tentang unsur- unsur yang terkait SLA yaitu
Supplier, Input, Proses, Output, dan Costumer (SIPOC). Adapun penjelasannya
adalah sebagai berikut:
- Supplier merupakan pihak yang memberikan sumber daya kepada organisasi untuk menjalankan proses menghasilkan produk/layanan;
- Input adalah segala sumber daya yang digunakan dalam proses menghasilkan produk/layanan, meliputi Manusia, Mesin, Metode, Material dan Lingkungan (Mother Nature);
- Proses merupakan serangkaian aktivitas untuk menghasilkan produk/layanan, meliputi Proses Utama yaitu proses yang dilakukan untuk menghasilkan produk; Proses Pendukung yaitu proses yang dilakukan untuk mendukung proses utama; dan Proses Manajemen yaitu proses yang dilakukan untuk menyempurnakan proses utama;
- Output adalah berupa produk/layanan yang dihasilkan dari suatu proses; dan
- Costumer adalah pihak yang menerima/membutuhkan produk/layanan dari suatu organisasi.
Untuk membuat SLA dapat
menggunakan tool berupa Value Stream Map (VSM), yaitu teknik yang digunakan
untuk menganalisis dan mendesain flow (alur) dokumen dan informasi yang
dibutuhkan dalam memproses produk/layanan.
Dalam VSM, memuat berbagai
informasi yang berkaitan dengan proses, seperti: total waktu proses, proses
yang bernilai tambah, delay time (waktu tunda), banyaknya operator, dan input
yang digunakan.
Total Waktu Proses dapat disebut
dengan Process Lead Time (PLT) adalah waktu proses keseluruhan untuk
menghasilkan suatu produk/layanan yang merupakan penjumlahan dari Value Added
Time (VAT), Non Value Added Time (NVAT), dan Bussines Non Value Added Time
(BNVAT).
- VAT adalah waktu yang benar-benar digunakan untuk suatu proses, idealnya adalah maksimum;
- NVAT adalah waktu yang digunakan untuk menunggu sebelum memulai proses (menunggu input) atau menungggu proses berikutnya. Idealnya NVAT adalah nol;
- BNVAT adalah tambahan waktu tunggu karena terkait adanya regulasi dalam suatu proses. Hal ini tidak dapat dihindari dalam suatu proses, namun idealnya minimum.
Untuk memahami penggunaan VSM
sebagai tool untuk membuat SLA, dapat digambarkan di bawah ini :
Pelanggan tidak mau tahu bahkan tidak mau
membayar NVAT maupun BNVAT, namun pelanggan hanya mau membayar VAT. VAT ini
adalah SLA yang sebenarnya diinginkan oleh pelanggan. Namun pada pelaksanaannya
oleh penyedia produk/layanan unsur NVAT dan BNVAT juga dimasukkan sebagai bahan
pertimbangan dalam menentukan SLA.
Pembuatan atau penentuan SLA
sebaiknya melibatkan seluruh pihak terkait dalam suatu organisasi, agar
diperoleh kesepakatan bersama. Pembuatan SLA ini melalui beberapa tahapan
sebagai berikut :
- Untuk membuat SLA yang perlu dipahami adalah tidak semua produk/layanan harus memiliki SLA. Buatlah SLA untuk produk/layanan yang benar-benar critical, dominan terhadap kebutuhan pelanggan.
- Menentukan pihak-pihak yang terlibat, karena SLA merupakan kesepakatan antara pelanggan dengan penyedia (supplier).
- Menetapkan harapan pelanggan dan syarat-syaratnya
- Memetakan proses dan aktivitasnya dalam menyediakan produk/layanan tersebut.
- Mengukur waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk/layanan tersebut.
- Melakukan negosiasi untuk mendapatkan kesepakatan waktu penyelesaian dari produk/layanan dimaksud.
Kesimpulan
Pelanggan tentunya memiliki
harapan terhadap suatu produk/layanan, namun sebaliknya penyedia memiliki
kewenangan yang terbatas dan memerlukan waktu proses untuk menyediakan
produk/layanan tersebut. Untuk itulah diperlukan SLA yang dapat menjembatani
perbedaan harapan, mendefinisikan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing pihak
serta pada akhirnya diperoleh kesepakatan bersama.
Contoh
Kasus Service Level Agreement (SLA) pada Perusahaan IT.
Penggunaan umum dalam manajemen layanan TI adalah sebagai
call center di Sebuah Perusahaan Ternama yaitu PT TELKOMSEL. PT
Telkomsel sebagai salah satu pelaku Industri Telekomunikasi tidak lepas dari
Perkembangan TI.
Pengukuran dalam kasus-kasus ini biasanya diidentifikasi
sebagai:
- ABA (Abandonment Average) : Sebuah persentase panggilan masuk, dimana panggilan lain di tahan, dan menjawab panggilan masuk yang lainnya
- ASA (Average Speed to Answer) : Rata-rata jumlah detik yang diperlukan untuk panggilan yang harus dijawab oleh pusat layanan.
- TSF (Time Service Factor) : Sebuah persentase panggilan dijawab dalam batas waktu tertentu, sebuah contoh yang baik adalah mengatakan 80% dalam 20 detik.
- FCR (First Call Resolution) : Sebuah persentase panggilan masuk yang dapat diselesaikan/ dipecahkan tanpa harus menelpon pelanggan kembali atau pelanggan tidak perlu menelpon kembali untuk menyelesaikan kasus ini.
- TAT (Turn Around Time) : Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu.
Hasil ini dicatat dan dimonitor untuk memberikan masukan kepada manajemen untuk efisiensi dan kegunaan dari personil call center dan untuk membantu mengindikasikan di mana pelatihan atau sumber daya yang lebih diperlukan.
Penggunaan SLA tidak terbatas pada dunia IT atau telekomunikasi – mereka juga digunakan untuk real estate, medis dan bidang apapun yang menyediakan produk atau layanan kepada pelanggan.Layanan berorientasi manusia dan bisnis memiliki kebutuhan untuk mengukur dan memikul tanggung jawab, dan SLA menyediakan pengukuran dan ide bagi entitas untuk menyepakati.
OPERASIONAL LEVEL AGREEMENT (OLA)
Perjanjian tingkat operasional (OLA) mendefinisikan hubungan
saling tergantung dalam mendukung perjanjian tingkat layanan (SLA). Kesepakatan
tersebut menggambarkan tanggung jawab masing-masing kelompok pendukung internal
terhadap kelompok pendukung lainnya, termasuk proses dan kerangka waktu untuk
penyampaian layanan mereka. Tujuan Operasional Level
Agreement (OLA) adalah untuk menyajikan deskripsi dukungan internal dari penyedia layanan
yang jelas, ringkas dan terukur.
OLA kadang diperluas ke frase lain tapi semuanya memiliki arti yang sama:
Kesepakatan tingkat organisasi
Perjanjian tingkat operasi
Perjanjian tingkat operasi
OLA bukan pengganti SLA. Tujuan OLA banyak variasi, yaitu adalah untuk membantu memastikan bahwa kegiatan yang
mendasari yang dilakukan oleh sejumlah komponen tim pendukung secara jelas
disesuaikan untuk menyediakan SLA yang dimaksud.
Jika OLA yang berada di bawah tidak ada, seringkali sangat sulit bagi organisasi untuk kembali dan memberi persetujuan insinyur antara tim pendukung untuk mengirimkan SLA. OLA harus dilihat sebagai dasar praktik yang baik dan kesepakatan bersama.
Enam tips
untuk membuat OLA, sebagai berikut ini:
1. Tentukan semua layanan TI yang bertanggung jawab dalam Katalog Layanan.
2. Sebagai CIO, terlibat dalam proses ini dengan memahami apa yang dibutuhkan masing-masing layanan.
3. Tentukan pemain kunci (tim jaringan, kelompok server, dll) dan tanggung jawab mereka.
4. Letakkan setiap harapan kelompok TI untuk mengirimkan setiap layanan.
5. Datang dengan rencana kontingensi untuk kejadian tak terduga.
6. Uji dan uji ulang OLAs, dan buat perubahan bila diperlukan. OLAs, seperti SLA, seharusnya tidak statis dan harus memiliki tanggal mulai, tengah dan akhir.
1. Tentukan semua layanan TI yang bertanggung jawab dalam Katalog Layanan.
2. Sebagai CIO, terlibat dalam proses ini dengan memahami apa yang dibutuhkan masing-masing layanan.
3. Tentukan pemain kunci (tim jaringan, kelompok server, dll) dan tanggung jawab mereka.
4. Letakkan setiap harapan kelompok TI untuk mengirimkan setiap layanan.
5. Datang dengan rencana kontingensi untuk kejadian tak terduga.
6. Uji dan uji ulang OLAs, dan buat perubahan bila diperlukan. OLAs, seperti SLA, seharusnya tidak statis dan harus memiliki tanggal mulai, tengah dan akhir.
Daftar Pustaka
Bahan Ajar Diklat Service Level
Agreement Kediklatan diterbitkan oleh Pusdiklat Keuangan Umum Kementerian
Keuangan Republik Indonesia, 2013.
http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/12530-mengenal-lebih-dekat-sla-service-level-agreement
http://debbychodati07.blogspot.com/2012/04/sla-service-level-agreement.html
https://en.wikipedia.org/wiki/Operational-level_agreement
http://whatis.techtarget.com/definition/operational-level-agreement-OLA